Jurnalpersada.com – Bandar Lampung : Budaya Lampung kini berada dalam status rentan kepunahan, bukan sekadar isapan jempol belaka. Keprihatinan atas nasib Bahasa Lampung juga diakui oleh Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI, E. Aminuddin Azis pada tahun 2022 yang menyatakan hasil kajian mengindikasikan ancaman kepunahan bahasa Lampung.
Desi Ari Prasanti, selaku Kepala Kantor bahasa Provinsi Lampung pada saat helat rakor revitalisasi bahasa daerah, juga tak menyangkal potensi bahaya yang mengintai Bahasa Lampung yang kini berada diujung tanduk.
Menanggapi hal itu, Senator Lampung, Bustami Zainuddin, menyadari bahwa peran Pemda sangatlah krusial dalam upaya pelestarian budaya Lampung. Dia menekankan Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota di Lampung harus benar-benar memahami kebudayaan sehingga dapat mengambil langkah-langkah nyata dengan melahirkan aturan yang mendukung kelangsungan budaya Lampung.
“Kita harus benar-benar memahami kebudayaan Lampung dan menerapkan kebijakan yang dapat membantu pembudidayaan bahasa Lampung,” tegas Bustami Zainuddin pada saat menjadi narasumber di acara diskusi 27-an UKM-BS Unila yang digelar di Gedung Graha Kemahasiswaan Unila, Kamis, (27/7/2023).
Dijelaskannya, saat masih menjabat sebagai Bupati Way Kanan, ia telah menerapkan aturan di Kabupaten Way Kanan yang mewajibkan warga dan Aparatur Sipil Negara (ASN) menggunakan bahasa Lampung dan pakaian adat Lampung selama 3 hari dalam seminggu.
Selain itu, dia juga menggalakkan penggunaan nama-nama usaha yang mencerminkan identitas suku Lampung oleh para pelaku usaha di Kabupaten Way Kanan.
“Waktu itu Saya efektif. Pokoknya kalau tidak ada unsur Lampung, saya paling kesal. Tetapi kalau ada pelaku usaha yang mengajukan izin dengan menggunakan nama yang mengandung bahasa Lampung, Langsung Saya setujui, semisal salon muli sikop,” ujar mantan Bupati Way Kanan itu.
Tidak hanya itu, dirinya juga menganggap budaya seangkonan sebagai jurus jitu untuk memberdayakan kebudayaan Lampung. Ia menyadari bahwa di Lampung terdapat banyak suku berbeda, termasuk orang Jawa dan Bali, dengan persentase penduduk pribumi bersuku Lampung hanya sebanyak 13 persen.
Oleh karena itu, melalui upacara seangkonan, orang dari berbagai suku bisa diangkat menjadi orang Lampung dan diberi gelar kehormatan Lampung.
Ia pun menyayangkan banyak pejabat Lampung yang tidak andil memberdayakan kebudayaan Lampung.
Apalagi, dirinya menemukan pejabat daerah yang memiliki darah asli Lampung, malah senang menggunakan blankon ketimbang memperkenalkan pakaian yang berbau adat Lampung.
“Lampung itu ada pantun juga, tapi kenapa yang jauh diperkenalkan malah pantun Betawi. Yang cakep, cakep. Itu kan Betawi bukan Lampung,” tutupnya.(red)